SANG MASTERPIECE
Aku tak tahu, akhir-akhir ini aku sangat senang memakai mantel panjang
coklatku ini, juga sebuah topi bundar untuk menutupi kepalaku, tak peduli itu
musim dingin atau panas. Aku hanya
merasa begitu terlindung dan keren.
Aku
berjalan menyusuri kota disore hari, banyak orang berlalu lalang, sebagian dari
mereka mengenalku tapi mereka kadang hanya menatapku tanpa menyapa dan aku juga
benar-benar tak mau terlibat percakapan dengan mereka.
Aku
nyaris mampir ke sebuah kedai bernama Jonas, lalu kubatalkan saat kulihat Leni
duduk disana sambil mengobrol dengan kekasihnya yang berambut merah itu. Saat ini aku tak ingin mengobrol dengannya,
sudah cukup sakit hatiku dikhianati oleh perempuan itu.
Langkahku
selanjutnya membawaku ke sebuah toko buku.
Aku
mengintip dari luar jendela, saat seorang pemuda menjulurkan sebuah buku ke
arah kasir. Buku itu bersampul hitam
dengan gambar keunguan berkesan kabut berjudul ‘Tamu di waktu malam’
Secara
reflek senyumku terkembang.
“Itu
bagus sobat. Benar-benar buku yang bagus”
Aku
menunggu pemuda itu keluar dari toko.
Saat
berjalan keluar dari toko tersebut beserta seorang teman, pemuda itu
berkomentar, “Ini buku yang bagus, kau juga harus membelinya, Hari”
“Hantu
itu tak ada, kau dibohongi, sobat”
“Yang
ini lain, kau akan merasakan hantu itu benar-benar berada disampingmu dan akan
mengikutimu kemanapun kau pergi”
Aku
terkikik membenarkan.
Dan
kedua pemuda itu berjalan pergi.
Itulah
aku. Aku telah berhasil membuat sebuah cerita yang sangat sensasional, sungguh
sebauh buku masterpiece. Sebuah cerita
hantu terlaris dan namaku ada disana, ditulis dengan huruf emas yang besar, Martin
Tristan!
Didekat
balai kota ada sebuah toko buku terkenal yang memajang baliho raksasa tentang
buku masterpiece ku itu, dan beberapa baliho lainnya tersebar mungkin diseluruh
dunia.
Jadi
tak diragukan lagi, hal itu membuatku cukup bangga dan tersanjung.
Kadang
aku memasuki toko-toko buku itu dan memandang kekaguman mereka terhadap hasil
karyaku itu.
Mereka memujaku dan mereka menyisihkan uang untuk
membeli si ‘Tamu diwaktu malam’
Bahkan aku mendengar rencana mereka untuk mengangkat
‘Tamu diwaktu malam’ diatas panggung.
Seandainya ada surat permohonan untuk mengajakku turut berperan disana
aku pasti akan langsung menyetujuinya.
Ya, itu membuatku begitu bahagia!
Aku tertawa.
Aku mampir di Kedai Balls. Makanan disana sangat cocok dengan
lidahku. Suasana disana juga
mengasikan. Kedai itu selalu penuh dan
membuat orang merasa betah. Sebenarnya
tak ada hal yang spesifik disana, selain makanannya yang enak pasti gedung itu
memiliki hoki yang sangat besar. Membuatku iri saja.
Pemiliknya bernama Jon, dia selalu duduk dikursi
kasir mengawasi para pegawai pramusaji, sedangkan istrinya Janna, langsung
terjun di dapur dibelakang counter, dia suka pamer kalau sedang memasak.
Seperti biasa aku masuk dibelakang counter menyapa
Janna dan mengambil menu apapun yang kumau.
Wanita itu seolah-olah tak mempedulikanku, dia
selalu begitu, sok sibuk tapi tak pernah melarangku melakukan hal itu.
Sesungguhnya dia wanita yang baik hati meskipun dia nampak sangat bengis.
Sambil membawa piringku, aku duduk dekat jendela.
Seorang wanita hendak duduk ditempatku ini, dia menyerngit lalu pindah.
Makanan ini benar-benar lezat.
Aku melihat Edy menghampiriku sambil membawa popcorn
dalam tube besar, dia tersenyum kearahku lalu tanpa kupersilahkan, dia duduk
dihadapanku.
“Bagaiman kabarmu, sobat?
Aku tersenyum
“Seperti yang kau lihat”
Penampilan Edy tak berubah. Dia dulu pemain akrobat
yang terkenal. Dua kali aku menontonnya. Sekali dengan Lenny dan sekali dengan
editorku Rubi. Penampilan Edy sungguh luar biasa, benar-benar sesuatu yang
mustahil.
Seminggu setelah itu aku membaca koran yang
memberitakan bahwa terjadi kecelakaan yang menimpa Edy, dia terjatuh saat
bereaksi. Sejak itu karirnya mandeg. Lama-kelamaan orang mulai melupakannya.
Sungguh kasihan sekali.
Dua bulan yang lalu aku bertemu dengannya, kita
mengobrol dan akhirnya kita berteman.
“Aku lihat postermu dimana-mana, hal itu
mengingatkanku akan diriku dahulu, ketika mereka masih memujaku sebagai pemain
acrobat berbakat”
Aku tersenyum tipis.
“Kadang dunia berputar terlalu cepat”
Hening
“Sesungguhnya aku heran padamu, Ed. Mengapa kau tak
mencoba untuk bermain lagi?
Dia menatapku lekat-lekat, lalu menjulurkan tanganya
seolah-olah menggorok lehernya.
“Karena tak seorang pun yang mau memperkerjakanku.
Mereka berpikir aku sudah habis! Keparat mereka!
Aku tertawa, sementara mata hitam bundar milik Edy
semakin melebar, dia menatapku marah.
“Mengapa tidak kau bunuh saja mereka. Aku bersumpah
hantu mereka akan mau memperkerjakanmu”
Sekarang giliran Edy yang tertawa
terpingkal-pingkal, lidahnya terjulur dan matanya berair.
“Sungguh tolol sekali dirimu!
Lalu dia nyelonong pergi, masih terpingkal-pingal.
Aku menggerutu. Melalap makanan dalam piringku,
menegak minuman juice disamping piringku, membuka dompet dan meletakan beberapa
lembar uang lalu kabur.
Aku masih mengomel ketika aku melihat sebuah mobil
berhenti tepat diseberang jalan dengan suara berdecit yang sangat keras.
Aku menutup telingaku, sementara orang-orang lain
tak peduli, sungguh aneh.
Aku mengejab-ngejabkan mataku, tapi mobil itu masih
disana.
Aku hanya berdiri disana menatap pintu mobil yang
terbuka. Seorang lelaki menampakan diri dengan jaket kulit, wajahnya dipenuhi
bulu-bulu jambang. Tangannya terulur menunjuk kearahku.
Dia meneriakiku
“Hei, pencuri!
Entah mengapa aku merasa harus berlari. Suara itu
terasa mengerikan dan mengancam.
Aku berlari secepat kilat, nyaris menubruk para
pejalan kaki, lalu berkelok disebuah lorong tepat saat aku melihat lelaki itu
telah berdiri disana.
“Jangan lari!” teriaknya.
Aku terkesiak, lalu cepat-cepat memacu kakiku untuk
berlari, tadi aku sempat melihat lelaki itu membawa pistol.
Aku berlari sambilberteriak-teriak.
“Tolong…..tolong aku!
Anehnya orang-orang disana tak ada yang berani ambil
tindakan. Mereka semua diam dan tak berkutik, atau mereka ketakutan juga
seperti aku. Sementara lelaki itu masih mengejarku sambil mengacungkan
pistolnya.
Aku menabrak sebuah tempat sampah, aku lekas-lekas
bangkit saat aku mendengar desingan peluru. Aku menjatuhkab diri diatas
trotoar.
Ben tetanggaku menatapku masa bodoh.
“Awas, tiarap! Tiarap!” Teriakku.
Ben dan orang-orang disana hanya menoleh kearahku.
Hanya itu.
Sialan! Aku mengumpat.
“Dia akan menembak kalian, tiarap!”
Atau mereka tahu bahwa sasaran lelaki itu hanya
diriku? Pantas saja mereka tak peduli.
Sial!
Aku lekas-lekas bangkit dan berlari lagi.
Kakiku tersandung sebuah peti kemas yang tergeletak
diatas trotoar, keseimbanganku goyah, aku terhuyung-huyung lalu membentur
sebuah lampu jalan.
Sekali lagi aku mengumpat.
Benturan itu menyakitiku.
Kepalaku berkedut-kedut.
Aku nyaris pingsan, lalu mulai berteriak-teriak.
“Hey apa yang kulakukan? Aku tidak mencuri apapun
darimu?” aku frustasi.
Lelaki itu menghampiriku sambil membidikan
sasarannya kearah wajahku.
“Akan ku buat kau mengaku, bajingan!” geramnya.
Tiang lampu jalanan itu terasa dingin menempel
diwajahku yang berkedut-kedut.
Tiba-tiba aku terlonjak, sebuah tembakan menyerempet
tiang lampu jalanan, nyaris melobangi wajahku.
‘Sial! Lelaki itu tidak main-main, dia benar-benar
ingin membunuhku!
Aku mulai berlari lagi. Jalanan terasa lebih lapang
dan sepi.
Saat itu aku melihat bangunan kantor polisi yang
bercat coklat pudar.
‘Disana! Aku harus lari kesana atau lelaki itu akan
mendapatkanku!
Aku berlari sekuat tenaga menuju kantor polisi.
Beberapa kali peluru mendesing melewatiku.
Sumpah aku ketakutan, sedetik yang lalu aku merasa
melambung diatas awan karena sanjungan dan detik ini aku berlari menyelamatkan
nyawaku dari cowboy brengsek itu.
Hanya tinggal sejengkal.
“Hey….hey…” aku berteriak-teriak.
Tapi tak ada seorangpun yang mendengarku.
Kantor polisi itu telah ada dihadapanku.
Aku meloncat, mengabaikan tangga meuju pintu masuk,
menabrak pintu disana, membenturkan diri hingga aku terguling saat pintu itu
terbuka.
Aku selamat,
bisikku.
Tapi ternyata tidak! Tempat itu kosong!
................................wanna read more?
wait for the new book of Ricka Sebastian 'Dongeng Tengah Malam'
No comments:
Post a Comment