Menu

Friday, August 24, 2012


SANG MASTERPIECE

            Aku tak tahu, akhir-akhir ini aku sangat senang memakai mantel panjang coklatku ini, juga sebuah topi bundar untuk menutupi kepalaku, tak peduli itu musim dingin atau panas.  Aku hanya merasa begitu terlindung dan keren.
            Aku berjalan menyusuri kota disore hari, banyak orang berlalu lalang, sebagian dari mereka mengenalku tapi mereka kadang hanya menatapku tanpa menyapa dan aku juga benar-benar tak mau terlibat percakapan dengan mereka.
            Aku nyaris mampir ke sebuah kedai bernama Jonas, lalu kubatalkan saat kulihat Leni duduk disana sambil mengobrol dengan kekasihnya yang berambut merah itu.  Saat ini aku tak ingin mengobrol dengannya, sudah cukup sakit hatiku dikhianati oleh perempuan itu.
            Langkahku selanjutnya membawaku ke sebuah toko buku.
            Aku mengintip dari luar jendela, saat seorang pemuda menjulurkan sebuah buku ke arah kasir.  Buku itu bersampul hitam dengan gambar keunguan berkesan kabut berjudul ‘Tamu di waktu malam’
            Secara reflek senyumku terkembang.
            “Itu bagus sobat. Benar-benar buku yang bagus”
            Aku menunggu pemuda itu keluar dari toko.
            Saat berjalan keluar dari toko tersebut beserta seorang teman, pemuda itu berkomentar, “Ini buku yang bagus, kau juga harus membelinya, Hari”
            “Hantu itu tak ada, kau dibohongi, sobat”
            “Yang ini lain, kau akan merasakan hantu itu benar-benar berada disampingmu dan akan mengikutimu kemanapun kau pergi”
            Aku terkikik membenarkan.
            Dan kedua pemuda itu berjalan pergi.
            Itulah aku. Aku telah berhasil membuat sebuah cerita yang sangat sensasional, sungguh sebauh buku masterpiece.  Sebuah cerita hantu terlaris dan namaku ada disana, ditulis dengan huruf emas yang besar, Martin Tristan!
            Didekat balai kota ada sebuah toko buku terkenal yang memajang baliho raksasa tentang buku masterpiece ku itu, dan beberapa baliho lainnya tersebar mungkin diseluruh dunia.
            Jadi tak diragukan lagi, hal itu membuatku cukup bangga dan tersanjung.
            Kadang aku memasuki toko-toko buku itu dan memandang kekaguman mereka terhadap hasil karyaku itu.
Mereka memujaku dan mereka menyisihkan uang untuk membeli si ‘Tamu diwaktu malam’
Bahkan aku mendengar rencana mereka untuk mengangkat ‘Tamu diwaktu malam’ diatas panggung.  Seandainya ada surat permohonan untuk mengajakku turut berperan disana aku pasti akan langsung menyetujuinya.
Ya, itu membuatku begitu bahagia!       
Aku tertawa.

Aku mampir di Kedai Balls.  Makanan disana sangat cocok dengan lidahku.  Suasana disana juga mengasikan.  Kedai itu selalu penuh dan membuat orang merasa betah.  Sebenarnya tak ada hal yang spesifik disana, selain makanannya yang enak pasti gedung itu memiliki hoki yang sangat besar. Membuatku iri saja.
Pemiliknya bernama Jon, dia selalu duduk dikursi kasir mengawasi para pegawai pramusaji, sedangkan istrinya Janna, langsung terjun di dapur dibelakang counter, dia suka pamer kalau sedang memasak.
Seperti biasa aku masuk dibelakang counter menyapa Janna dan mengambil menu apapun yang kumau.
Wanita itu seolah-olah tak mempedulikanku, dia selalu begitu, sok sibuk tapi tak pernah melarangku melakukan hal itu. Sesungguhnya dia wanita yang baik hati meskipun dia nampak sangat bengis.
Sambil membawa piringku, aku duduk dekat jendela. Seorang wanita hendak duduk ditempatku ini, dia menyerngit lalu pindah.
Makanan ini benar-benar lezat.
Aku melihat Edy menghampiriku sambil membawa popcorn dalam tube besar, dia tersenyum kearahku lalu tanpa kupersilahkan, dia duduk dihadapanku.
“Bagaiman kabarmu, sobat?
Aku tersenyum
“Seperti yang kau lihat”
Penampilan Edy tak berubah. Dia dulu pemain akrobat yang terkenal. Dua kali aku menontonnya. Sekali dengan Lenny dan sekali dengan editorku Rubi. Penampilan Edy sungguh luar biasa, benar-benar sesuatu yang mustahil.
Seminggu setelah itu aku membaca koran yang memberitakan bahwa terjadi kecelakaan yang menimpa Edy, dia terjatuh saat bereaksi. Sejak itu karirnya mandeg. Lama-kelamaan orang mulai melupakannya. Sungguh kasihan sekali.
Dua bulan yang lalu aku bertemu dengannya, kita mengobrol dan akhirnya kita berteman.
“Aku lihat postermu dimana-mana, hal itu mengingatkanku akan diriku dahulu, ketika mereka masih memujaku sebagai pemain acrobat berbakat”
Aku tersenyum tipis.
“Kadang dunia berputar terlalu cepat”
Hening
“Sesungguhnya aku heran padamu, Ed. Mengapa kau tak mencoba untuk bermain lagi?
Dia menatapku lekat-lekat, lalu menjulurkan tanganya seolah-olah menggorok lehernya.
“Karena tak seorang pun yang mau memperkerjakanku. Mereka berpikir aku sudah habis! Keparat mereka!
Aku tertawa, sementara mata hitam bundar milik Edy semakin melebar, dia menatapku marah.
“Mengapa tidak kau bunuh saja mereka. Aku bersumpah hantu mereka akan mau memperkerjakanmu”
Sekarang giliran Edy yang tertawa terpingkal-pingkal, lidahnya terjulur dan matanya berair.
“Sungguh tolol sekali dirimu!
Lalu dia nyelonong pergi, masih terpingkal-pingal.
Aku menggerutu. Melalap makanan dalam piringku, menegak minuman juice disamping piringku, membuka dompet dan meletakan beberapa lembar uang lalu kabur.
Aku masih mengomel ketika aku melihat sebuah mobil berhenti tepat diseberang jalan dengan suara berdecit yang sangat keras.
Aku menutup telingaku, sementara orang-orang lain tak peduli, sungguh aneh.
Aku mengejab-ngejabkan mataku, tapi mobil itu masih disana.
Aku hanya berdiri disana menatap pintu mobil yang terbuka. Seorang lelaki menampakan diri dengan jaket kulit, wajahnya dipenuhi bulu-bulu jambang. Tangannya terulur menunjuk kearahku.
Dia meneriakiku
“Hei, pencuri!
Entah mengapa aku merasa harus berlari. Suara itu terasa mengerikan dan mengancam.
Aku berlari secepat kilat, nyaris menubruk para pejalan kaki, lalu berkelok disebuah lorong tepat saat aku melihat lelaki itu telah berdiri disana.
“Jangan lari!” teriaknya.
Aku terkesiak, lalu cepat-cepat memacu kakiku untuk berlari, tadi aku sempat melihat lelaki itu membawa pistol.
Aku berlari sambilberteriak-teriak.
“Tolong…..tolong aku!
Anehnya orang-orang disana tak ada yang berani ambil tindakan. Mereka semua diam dan tak berkutik, atau mereka ketakutan juga seperti aku. Sementara lelaki itu masih mengejarku sambil mengacungkan pistolnya.
Aku menabrak sebuah tempat sampah, aku lekas-lekas bangkit saat aku mendengar desingan peluru. Aku menjatuhkab diri diatas trotoar.
Ben tetanggaku menatapku masa bodoh.
“Awas, tiarap! Tiarap!” Teriakku.
Ben dan orang-orang disana hanya menoleh kearahku. Hanya itu.
Sialan! Aku mengumpat.
“Dia akan menembak kalian, tiarap!”
Atau mereka tahu bahwa sasaran lelaki itu hanya diriku? Pantas saja mereka tak peduli.
Sial!
Aku lekas-lekas bangkit dan berlari lagi.
Kakiku tersandung sebuah peti kemas yang tergeletak diatas trotoar, keseimbanganku goyah, aku terhuyung-huyung lalu membentur sebuah lampu jalan.
Sekali lagi aku mengumpat.
Benturan itu menyakitiku.
Kepalaku berkedut-kedut.

Aku nyaris pingsan, lalu mulai berteriak-teriak.
“Hey apa yang kulakukan? Aku tidak mencuri apapun darimu?” aku frustasi.
Lelaki itu menghampiriku sambil membidikan sasarannya kearah wajahku.
“Akan ku buat kau mengaku, bajingan!” geramnya.
Tiang lampu jalanan itu terasa dingin menempel diwajahku yang berkedut-kedut.
Tiba-tiba aku terlonjak, sebuah tembakan menyerempet tiang lampu jalanan, nyaris melobangi wajahku.
‘Sial! Lelaki itu tidak main-main, dia benar-benar ingin membunuhku!
Aku mulai berlari lagi. Jalanan terasa lebih lapang dan sepi.
Saat itu aku melihat bangunan kantor polisi yang bercat coklat pudar.
‘Disana! Aku harus lari kesana atau lelaki itu akan mendapatkanku!
Aku berlari sekuat tenaga menuju kantor polisi. Beberapa kali peluru mendesing melewatiku.
Sumpah aku ketakutan, sedetik yang lalu aku merasa melambung diatas awan karena sanjungan dan detik ini aku berlari menyelamatkan nyawaku dari cowboy brengsek itu.
Hanya tinggal sejengkal.
“Hey….hey…” aku berteriak-teriak.
Tapi tak ada seorangpun yang mendengarku.
Kantor polisi itu telah ada dihadapanku.
Aku meloncat, mengabaikan tangga meuju pintu masuk, menabrak pintu disana, membenturkan diri hingga aku terguling saat pintu itu terbuka.
Aku selamat, bisikku.
Tapi ternyata tidak! Tempat itu kosong!





................................wanna read more?
wait for the new book of Ricka Sebastian 'Dongeng Tengah Malam'

No comments:

Post a Comment